
Salah satu anggapan sebagian masyarakat Madura terhadap laki-laki atau perempuan yang sudah berumur lebih dari 25 tahun (bahkan lebih) dan belum menikah adalah karena mereka “le mele”, alias terlalu memilih atau selektif dalam memilih pasangan hidupnya. Anggapan tersebut tidak senada dengan ungkapan seorang budayaean, Sujiwo Tejo yang mengatakan bahwa, “Kita tidak bisa memilikih dengan siapa kita jatuh cinta, tapi kita bisa memilih dengan siapa kita menikah”, dimana ungkapan tersebut selaras dengan hadis Rasullulah yang berbunyi, \”Carilah pasangan karena 4 hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (keislamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.\” (HR Muslim)
Nah pertanyaannya, mengapa menikah itu harus memilih?
Mari kita bahas satu persatu berdasarkan penjelasan beberapa ahli. Menurut Sosiolog Dr. Novi Kamalia, ada dua alasan mengapa kita harus ‘le mele’ pasangan hidup. Pertama, karena sejatinya pernikahan itu adalah saling ngobrol atau berkomunikasi. Ngobrol tentang rumah, anak, pekerjaan, keuangan, orangtua-mertua, tetangga, maupun tentang hubungan seksual, untuk itu perlu kiranya mencari atau memilih pasangan yang bisa diajak ngobrol. Jika sejak awal ngobrolnya saja tidak nyambung, maka akan berpotensi mengancam kelanggengan rumah tangga, karena banyak persoalan rumah tangga yang bisa (atau bahkan hanya bisa) diselelsaikan dengan cara ‘ngobrol’.
Maksud dari istilah ‘nyambung’ disini bukan berarti harus setara atau memiliki cara berpikir yang sama, akan tetapi harus saling menghargai satu sama lain. Menghargai apa yang disampaikan oleh masing-masing pasangan dengan saling mendengarkan dan memberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya, sebab ‘ngobrol’ atau berkomunikasi dalam sebuah pernikahan bukan ruang kelas yang berisi debat teori. Maka salah besar jika sebagian masyarakat yang menganggap bahwa ‘nyambungnya’ sebuah obrolan atau komunikasi ditentukan oleh tingkat pendidikan seseorang, melainkan didasari oleh kedalaman pengalamannya.
Seorang sosiolog Jurgen Habermas mengatakan bahwa komunikasi yang ideal adalah jika didalamnya terdapat kesiapan mental, baik itu terjadi pada pasangan suami istri, maupun dalam masyarakat. Yang dimaksud dengan kesiapan mental disini adalah jika subjek dan objek sama –sama tahu letak permasalahannya dan tahu bagaimana resiko yang akan ditanggungnya. Dimana hal tersebut ditentukan oleh pengalaman hidup seseorang bukan dari tingkat pendidikannya. Sebab seorang ulama besar, Imam al Ghazali mengatakan, bahwa puncaknya ilmu adalah pengalaman. Untuk itu perlu bekal yang cukup bagi seeorang sebelum menikah, dengan cara mencari pengalaman sebanyak-banyaknya, terutama pengalaman dalam kegagalan, kesedihan, kehilangan, dan kekalahan, yang kesemuanya adalah cara untuk melatih mental.
Pernikahan itu adalah ibadah yang paling panjang dari ibadah lainnya, sehingga membutuhkan bekal yang sangat cukup untuk menjalaninya, yaitu kekuatan dan ketahanan mental. Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa didalam pernikahan, sangatlah mustahil jika hanya adem ayem saja, karena didalamnya pasti akan berhadapan dengan berbagai persoalan yang sangat kompleks. Selain itu juga muncul rasa bosan, ujian kesetiaan, masalah keuangan, bahkan juga intervensi orang ketiga ddidalam rumah tangga. Untuk itu memilih pasangan yang bisa diajak ngobrol dan nyambung itu adalah sebuah pertimbangan yang paling utama.
Alasan kedua, mengapa kita harus selektif dalam memilih seseorang untuk menjadi pasangan hidup (pernikahan) adalah karena anak-anak tidak bisa memilih ayah atau ibu kandungnya, baik dari bibit, bebet dan bobotnya. Alasan ini tidak hanya memilih seseorang berdasarkan dari fisiknya, ibadahnya dan keturunannya (keluarga) saja, tapi juga dari sikapnya seperti bagaimana ia memperlakukan orang lain disekitarnya, juga memperlakukan makhluk hidup lainnya, dan bagaimana ia peduli terhadap dirinya sendiri. Jika demikian, maka ia pasti akan peduli terhadap tumbuh kembang anak-anaknya, baik secara fisik (tubuh) maupun mentalnya, agar mampu menghadapi realita hidup nanti.
Fakta yang ada di masyarakat, banyak pasangan suami istri yang memilih mempertahankan pernikahannya demi anak-anak, meskipun hati mereka terluka karena tidak bahagia dengan pasangannya, atau bahkan dikhianati oleh pasangannya. Inilah yang disebut dengan kesiapan mental dalam pernikahan, sebab tidak sedikit anak-anak yang bersikap buruk atau melakukan tindak kriminal berasal dari keluarga broken home.
Selain itu, didalam ilmu psikologi menyatakan bahwa 65% perilaku seseorang (anak) dibentuk oleh DNA (bibit) orangtuanya dan selebihnya dibentuk oleh pola asuh orangtua dan lingkungan dimana ia tumbuh. Bahwa artinya, memilih pasangan (baik suami atau istri) sangatlah harus selektif agar darah yang mengalir kedalam tubuh anak-anak, adalah darah yang terbaik.
Berkaitan dengan hadis nabi di awal tulisan ini pun juga memiliki makna emplisit, bahwa memilih pasangan itu menjadi sebuah keniscayaan. Rasulullah menyarankan 4 hal yang menjadi pedoman dalam memilih pasangan sebelum menikah, yaitu;
- Harta atau kekayaannya, yaitu bukan berarti memiliki kekayaan yang sangat besar, akan tetapi uang atau jumlah harta yang dimilikinya merupakan bukti seseorang sebagai pribadi yang bertanggung jawab, terutama laki-laki sebagai kepala keluarga, sebab persoalan rumah tangga yang sering menyebabkan perceraian, adalah masalah keuangan. Hal ini juga tidak hanya dibuktikan dengan jumlah harta atau uang yang dimilikinya, tetapi juga bisa dilihat dari sosoknya sebagai pekerja keras yang tidak pernah gengsi atau malas mencari nafkah.
- Kelas sosial atau kedudukannya, yang dalam istilah islam disebut dengan sekufu, yaitu setara. Setara disini bukan hanya berarti sama, tapi juga berarti ‘nyambung’
- Paras atau fisiknya. Kesehatan dan bentuk fisik juga menjadi dasar pertimbangan seseorang dalam memilih pasangan hidupnya. Namun hal ini bukan berarti mengerdilkan orang yang memiliki kekurangan dalam fisiknya, misalnya cacat atau berkebutuhan khusus. Makna implisit dari kriteria ini adalah cinta, sebab menurut seorang pujangga, “bukan canti atau ganteng yang membuat saya cinta, tapi cinta yang membuatmu cantic atau ganteng’.
- Agamanya. Hal ini bukan berarti seseorang yang rajin atau pandai dalam menjalankan ibadah ritual agamanya, melainkan juga memahami ajaran agamanya, yaitu hukum Allah, seperti makna ikhlas, sabar, pasrah, tawakkal, dll.
Selektif atau le mele bukan sesuatu yang buruk, melainkan sebuah pernyataan sikap tegas seseorang dalam membangun dan menciptakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah war rahmah.