KODIFIKASI AL-QUR’AN; MENJAGA ORISINALITAS DAN SAKRALITAS AL-QUR’AN

\"\"

Al-Qur’an merupakan mukjizat Nabi Muhammad yang menggemparkan dunia Arab dengan firman-firman Allah yang sastrawi. Orang Arab yang gemar terhadap syair (sastra Arab) kala itu terperangah dengan gaya bahasa wahyu berupa kalamu Allah yang berbeda dengan nilai sastranya tinggi. Yang percaya (iman) terhadap mukjizat Nabi tersebut kemudian tidak mempermasalahkan orisinalitas ayat-ayat tersebut dari Allah (Tuhan). Sementara orang yang tidak percaya terhadap mukjizat Nabi tersebut, menanggapi secara sinis seraya menuduh bahwa ayat-ayat yang disampaikan oleh Nabi adalah karya yang dibuat oleh Muhammad (kata mereka).

Kodifikasi Al-Qur’anجمع القرأن

Kodifikasi al-Qur’an secara informal merujuk pada adanya penulisan atau pencatatan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup. Masa ini wahyu atau ayat-ayat Al-Qur’an ditulis pada bahan-bahan apa adanya(al-riqā’).Pendapat ini dikuatkan Al-Suyūthī dengan mengatakan Al-Qur’an telah ditulis pada masa Nabi tetapi tidak pada satu tempat dan tidak pada tertib surat.[1]

Al-Suyūthī kemudian juga mengutip pendapat berbeda dari Al-Dair’aqūlī. Ia mengatakan, berdasarkan suatu riwayah yakni Atsardari Zaid bin Tsabit, bahwa Nabi Muhammad SAW bersikukuh (untuk tidak menulis ayat atau wahyu) dan Al-Qur’an tidak terkumpul dalam suatu apapun. Ini dikuatkan oleh Al-Khaththābī, Nabi tidak mengumpulkan ayat-ayat dikarenakan adanya ayat yang nasikh (menghapus) terhadap sebagian hukum dan tilawahAl-Qur’an. Namun setelah Nabi wafat, Allah memberikan jaminan penjagaannya dengan menurunkan ilham kepada Khulafā’ al-Rasyidin, ini dimulai dengan perantara Khalifah Abu Bakar al-Shiddīq atas inisiatif Umar bin Khaththāb.[2]

Perbedaan yang mencuat tentang apakah pengumpulan Al-Qur’an pada masa Nabi dilakukan atau tidak,terletak pada permasalahan memahami kalimat pada sebuah Atsar Zaid bin Tsābit “ قبض النبي (صلعم) ولم يكن القرآن جمع في شيئ ”. Dasar bantahan yang dilakukan orientalis tentang pengumpulan al-Qur’an itu terletak pada memahami kata jumi’a yang artinya dikumpulkan.

Untuk menyederhanakan pemahaman yang keliru dari orientalis dalam memandang tidak adanya pengumpulan al-Qur’an pada masa nabi yang berlandaskan pada atsar sahabat adalah bahwa pada atsar tesebut tertulis jumi’a yang artinya dikumpulkan atau dihimpun, bukan kutiba (ditulis), jadi memahaminya dengan menyatakan al-Qur’an tidak ditulis sama sekali pada masa Nabi merupakan pernyataan keliru. Karena Atsār Zaid bin Tsābit menggunakan kata jumi’a yang secara harfiah artinya “dikumpulkan” yang bisa dipahami memang benar adanya tetapi tentang penulisan atau pencatatan al-Qur’an pada masa Nabi tidak bisa dibantah kebenarannya.

Kebenaran hal penulisan Al-Qur’andikuatkan oleh Al-Zarzūr dalam kitab ‘Ulum al-Qurān, bahwa Nabi menyuruh sahabat untuk menulis setiap ayat-ayat yang diturunkan. Sahabat yang diperintahkan oleh Nabi untuk menulis ayat-ayat tersebut adalah Khulafā’ al-Rāsyidīn, Zaid bin Tsābit, Ubay bin Ka’b, Zaid bin Qais, dan selain mereka. Bahkan Zaid bin Tsābit berkata: “Kami berada di sisi Rasul Allah, kami menulis Al-Qur’an pada al-riqā’.[3]

Dari sini apapun kesimpulan yang diambil, al-Qur’an sudah pernah ditulis sejak di Mekkah dan tidak ada satu pun ayat yang tercecer atau hilang dari hafalan dan catatan semasa Rasulullah masih hidup. Catatan ayat-ayat inilah yang kemudian dilakukan penulisan ulang pada masa khalifah Abū Bakar atas saran ‘Umar bin Khathtāb.[4]

Tetapi penulisannya secara lebih sistematis baru dimulai di Madinah, khususnya setelah Nabi secara resmi menunjuk beberapa sahabatnya untuk melakukan tugas ini. Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Ubay bin Ka’b, Zaid bin Tsābit dan Abdullah bin Mas’ud, adalah nama-nama yang biasa sebagai penulis wahyu di Madinah. Al-Zanjadi menyebut sekitar 30-an nama lagi selain nama yang empat itu.[5]

KodifikasiAl-Qur’an Masa Abū Bakar Ash-Shiddīq

            Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, kekhawatiran di tengah orang-orang Islam terjadi. Mereka kehilangan sosok panutan dan pemimpin yang kharismatik. Pemimpin mereka telah tiada. Mereka tidak bisa membayangkan bagaimana nasib umat Islam setelah Nabi Wafat. Tetapi kemudian kekhawatiran tersebut mereda seiring adanya konsensus sahabat tentang siapa yang akan mengganti posisi Rasulullah yang wafat. Dia adalah Abū Bakar Ash-Shiddīq.

Kekhawatiran tentang pengganti (khalifah) Rasul Allah mereda, umat Islam fokus meredam gejolak internal di tubuh Islam dengan memerangi orang murtad di tanah Arab. Peperangan dipimpin oleh Abū Bakar Ash-Shiddīq. Di masa ini tak terelakkan adanya peperangan di antara orang Islam. Dengan adanya peperangan inimenyeruak kembali kekhawatiran akan kehilangan ayat-ayat Al-Qur’an dengan gugurnya sahabat. Seperti pada perang Yamamah, sahabat-sahabat penghafalan Al-Qur’an mulai berguguran. Kekhawatiran bertambah tatkala Umar membayangkan bagaimana kemudian jika sahabat-sahabat penghafal Al-Qur’an terus berguguran dalam peperangan yang lain. Maka atas dasar pikiran ini, Umar bin Khaththāb menyarankan Abū Bakar untuk mengumpulkan dan menghimpun Al-Qur’an.

Pertanyaannya, bagaimana dengan hasil catatan dan penulisan pada masa Nabi? Diketahui pada masa Nabi, pencataan dan penulisan Al-Qur’an dilakukan secara informal atau tidak formal. Ini mengacu pada penulisannya pada bahan-bahan yang ala kadarnya sebagaimana disebutkan al-riqā’ yang dapat diartikan dedaunan, pelapah kurma, batu putih yang lebar, atau suatu yang mempunyai sisi bidang yang cukup lebar untuk menulis Al-Qur’an. Bahan-bahan ini tentu saja tidak mungkin dijadikan satu. Maka motivasi pencatatan pada masa Nabi lebih kepada menguatkan hafalan Nabi dan Sahabat. Pencatatan dan penulisan pada masa Nabi, sebagaimana dijelaskan di bagian awal, selain dilakukan oleh Zaid, juga dilakukan oleh para sahabat. Sekali lagi, ini dilakukan untuk mengantisipasi lupa dan salah sebagai sifat manusia. Maka penulisan Al-Qur’an masa ini yang sederhana dan berceceran pada sahabat-sahabat yang secara informal diperintahkan oleh Nabi, tidak bisa dijadikan pegangan untuk menjagaAl-Qur’anpada masa-masa berikutnya. Maka dari itu apa yang disarankan Umar kepada Abu Bakar cukup beralasan. Bukan hanya karena kekhawatiran gugurnya para sahabat penghafal Al-Qur’an, tetapi catatan-catatan penulisan sebelumnya berceceran dan tersebar di antara sahabat-sahabat sehingga susah (dan tidak rela) kemudian untuk membiarkan wahyu tercecer dan potongan-potongan ayat tidak bersatu.

Tentang kebenaran penulisanal-Qur’an pada masa Nabi, menurut Ahmad Von Denver,salah seorang penulis sejarah Al-Qur’an modern, sebagaimana dikutip Abd Moqsith Ghazali, justru mengarah pada adanya mushaf.Ia meyakini paling tidak ada 23 mushaf yang dialamatkan kepada para penulis wahyu. Tapi sebuah upaya pengumpulan wahyu menjadi satu mushaf, jika memang benar spekulasi tersebut, pengumpulan itu masih jauh dari sempurna. Karena ini pula saran Umar kepada Abu Bakar agar diadakan kodifikasi (pengumpulan) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an cukup beralasan.

Saran Umar agar Al-Qur’an dikumpulkan berdasarkan alasan-alasan di atas, tidak serta merta diterima oleh Abu Bakar. Alasan penolakan sementara Abu Bakar itu adalah bahwa kegiatan seperti itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi. Dengan kata lain gagasan Umar tentang pengumpulan al-Qur’an menjadi satu kesatuan yang utuh adalah sesuatu yang asing. Beberapa kali Umar meyakinkan Abu Bakar akhirnya beliau setuju dengan gagasan Umar. Ia lalu berhasil membujuk Zaid bin Tsābit untuk menulis ayat-ayat Al-Qur’an dengan argumentasi yang sama dengan apa yang disampaikan Umar. Karena tugas yang berat ini, Zaid lalu mengatakan, “Jika mereka menyuruhku untuk memindah gunung dari beberapa gunung, bagiku masih lebih berat mengumpulkan Al-Qur’an.”[6]

Pada masa Abu Bakar, jadilah satu kumpulan ayat-ayat Al-Qur’an ke dalam satu bundel buku. Mannā’ al-Qaththān menjelaskan, inilah kemudian menjadi cikal bakal penamaan al-Qur’an menjadi “mushaf”. Mushaf yang dimaksud merujuk pada apa yang dikumpulkan oleh Zaid bin Tsābit, sebagaimana diperintahkan oleh Abu Bakar. Karena mushaf masa Abu Bakar ini ayat-ayat dan surat-suratnya telah tersusun secara tertib, bahkan telah mencakup sab’ah ahruf. Ini merupakan satu keistimewaan kodifikasi Al-Qur’an pada masa Abu Bakar dibandingkan dengan mushaf-mushaf personal para sahabat seperti mushaf Ali, Ubay, Ibnu Mas’ud dan sahabat-sahabat lain. Mannā’ al-Qaththān menerangkan mushaf-mushaf personal sahabat yang lain, tidak selengkap dan seistimewan mushaf Abu Bakar hasil “kreasi” Zaid bin Tsābit yang bekerja sama dengan ‘Umar bin Khaththāb. Bahkan Sayyidina Ali mengakui keistimewaan mushaf Abu Bakar, “orang yang memiliki pahala yang paling besar dalam hal mushaf adalah Abu Bakar, rahmat Allah kepadanya, ia merupakan orang pertama yang mengumpulkan kitab Allah.”[7]

KodifikasiAl-Qur’an Masa Utsman bin ‘Affān

Pada masa Khalifah Utsman, umat Islam memperluas ekspansinya dengan beberapa penaklukan-penaklukan di beberapa kota. Para penghafal-penghafal Al-Qur’an tersebar di penjuru kota. Sehingga para penduduk kota yang telah masuk Islam menerima Al-Qur’an dari utusan-utusan yang dikirim kepada mereka. Namun masalah mulai muncul ketika para penghafal mulai menyebar di penjuru kota dan membacakan Al-Qur’an dengan bacaan-bacaan yang berbeda-berbeda dengan dalihAl-Qur’an turun dengan sab’ah Ahruf. Seandainya mereka (penduduk dari berbagai kota) berkumpul di satu tempat, maka siapapun akan terperangah dengan fenomena bahwa banyak sekali versi bacaan yang berbeda-beda. Walaupun perbedaan bacaan tersebut telah mendapat legitimasi dari Rasul, tetapi tetap saja ada kekhawatiran akan adanya penyelewengan, fitnah, pembohongan, dan semacamnya yang akan membuat kegaduhan, pencacian, dan dosa terhadap umat yang membaca al-Qur’an karena telah terdapat perubahan dan penggantian.[8]

            Diriwayatkan oleh Bukhārī dari Anas, tentang Kesaksian hal di atas. Diceritakan bahwa Hudzaifah bin Al-Yaman ketika melakukan penaklukan ke daerah Syam, khususnya di Armenia dan Azarbeijan bersama penduduk Iraq. Mereka berkumpul di satu tempat. Saat itu Hudzaifah mendengar perbedaan dan perselisihan yang diselingi klaim pembenaran antara bacaan yang satu dengan yang lain. Kemudian Hudzaifah datang kepada Utsman karena melihat hebatnya perselisihan dalam soal qirāat. Hudzaifah meminta kepada Utsman supaya memperbaiki keadaan itu, menghilangkan perselisihan bacaan agar umat Islam tidak berselisih mengenai kitab mereka, seperti apa yang tejadi pada Yahudi dan Nasrani.[9]

            Pengaduan sekaligus permintaan Hudzaifah bin Al-Yamān ditanggapi serius oleh Khalifah Ustman. ‘Utsman lalu meminta Hafshah bint Umar untuk mengirim suhuf atau mushaf Abu Bakar dan Umar kepadanya. Kemudian Hafshah mengirimkan suhuf tersebut. Lalu Utsman menunjuk Zaid bin Tsābit, Abdullah bin Zubair, Sa’īd bin al-‘Ash, dan Abdurrahman bin Hārits bin Hisyām[10] untuk menulis kembali suhuf menjadi mushaf yang utuh. Dalam riwayat Ibn Abi Dāud, Utsman mengumpulkan 12 lelaki dari suku Quraisy dan kelompok Anshor untuk menuliskan kembali ayat-ayat Al-Qur’an agar menjadi satu mushaf.[11]

            Kepada para “panitia” kodifikasi Al-Qur’an, Utsman memberi peraturan atau ketentuan-ketentuan yang harus dilakukan oleh mereka. Antara lain ialah jika dalam penulisan mereka bertentangan dengan Zaid bin Tsābit tentang suatu ayat, maka instruksi Utsman agar menulisnya dengan satu versi yakni sesuai dengan lisan Quraisy. Karena sebenarnya Al-Qur’an turun dengan lisan Quraisy.[12]

            Setelah panitia merampungkan penulisan dan pengumpulannya dari suhuf Abu Bakar dan Umar, Utsman kemudian memerintahkan untuk membakar setiap mushaf yang berbeda dengan hasil kodifikasi Al-Qur’an yang dipimpin oleh Zaid. Tindakan ini bukan tidak menghargai mushaf-mushaf yang ada, akan tetapi ini lebih pada mengantisipasi hal yang tidak diinginkan seperti adanya penggantian dan perubahan terhadap ayat-ayat pada mushaf-mushaf yang bermacam-macam.

            Hasil kodifikasi Al-Qur’an pada masa Utsman kemudian disebarkan ke penjuru-penjuru kota sekaligus menghapus adanya perselisihan bacaan yang terjadi di kalangan umat Islam. Umat Islam tidak lagi dikhawatirkan dengan adanya perselisihan yang hebat tentang Al-Qur’an, karena kebijakan Utsman sangat mempengaruhi orisinalitas Al-Qur’an yang tidak akan terganggu dengan adanya hantaman manipulasi di setiap ayatnya. Sebab telah ada dan diakui satu mushaf yang layak untuk dijadikan pedoman umat Islam.

Penyempurnaan Tulisan Al-Qur’an(Rasm Al-Qurān)

            Tidak ada yang meragukan bahwa Al-Qur’an merupakan mukjizat agung yang dikhususkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW dan umatnya yang tak akan pernah lekang oleh waktu, menembus dimensi ruang, tanpa adanya perubahan dan penggantian. Perubahan dan penggantian dimaksud adalah pada aspek tekstualitas ayat dan pemahamannya. Aspek tekstualitas, redaksi atau bacaan ayat-ayat Al-Qur’anyang mencakup tujuh bacaan (sab’ah ahruf)oleh  jumhurul ulamā’ merupakan tauqifi yakni ketetapan Nabi dari Allah. Termasuk tauqīfī adalah tertib ayat dan surat dalam Al-Qur’an.[13]

            Apsek redaksi Al-Qur’an yang terdiri dari tujuh bacaan (sab’ah ahruf) tersebut pada masa Utsmān bin ‘Affān, sampai pada titik mengkhawatirkan. Terdapat perselisihan, justifikasi kebenaran bacaan oleh sepihak. Karena khawatir berujung pada penggantian dan perubahan, maka Hudzaifah bin Al-Yamān menyarankan agar masalah ini segera diatasi. Utsman bergerak cepat memerintahkan Zaid bin Tsābit dan tiga sahabat lainnya untuk menulis ayat-ayat Al-Qur’anke dalam satu bundel mushaf dengan versi bacaan Quraisy karena Al-Qur’an turun dengan bahasa Quraisy.

            Upaya kodifikasi dan standarisasi yang dilakukan Utsman boleh dibilang mulus. Tapi problem baru muncul. Aksara arab yang menjadi medium ayat-ayat Al-Qur’an masih dalam bentuknya yang primitif. Penulisan tanpa tanda baca memunculkan problem baru yang bisa berimplikasi bukan hanya pada bunyi kata, tetapi juga makna dan maksud.[14]Masalah ini kemudian wajar terjadi karena mushaf yang ditulis atas perintah Utsman itu tidak berbaris dan tidak bertitik. Karena itu dapat dibaca dengan salah satu qiraāt yang tujuh. Setelah banyak yang bukan orang Arab masuk Islam, mulailah terdapat kesalahan dalam pembacaan. Maka beberapa Ulama merasa khawatir akan terjadinya kesalahan yang berakibat fatal, Ziyad bin Abihi yang menjadi hulubalang di Irak meminta Abu Aswad ad-Dualy, salah seorang ketua Tabi’īn, membuat tanda-tanda pembacaan. Karena tanda-tanda bacaan ini belum sempurna dan dianggap masih belum bisa mengatasi masalah, usaha untuk menyempurnakannya kemudian dilakukan oleh Nashr bin Ashim atas perintah Al-Hajjaj. Pendapat lain mengatakan yang memberi titik dan baris adalah Al-Hasan Al-Bisyry dan Yahya bin Ya’mura atas perintah Al-Hajjaj, Al-Hajjaj mendapat instruksi dari Abdul Malik bin Marwan (66-86 H/685-705 M).[15]

            Selanjutnya Kegiatan penyempurnaan tidak hanya pada apsek rasm atau tulisan saja, tetapi dinamika problem qirāah sab’ahatau sab’ah ahruf mencuat pada Abad ke-3 dan ke-4 hijriah. Meskipun secara umum orang Islam berpegang pada mushaf Utsmany, tapi mereka –khususnya para sarjana –tetap mengakui adanya ragam bacaan selain Mushaf Utsmany. Puncaknya terjadi pada tahun 322 H, ketika Ibnu Mujahid  (w. 324 H) melakukan penertiban terhadap ragam bacaan yang semakin liar. Ibnu Mujahid adalah seorang sarjana Al-Qur’an yang bekerja pada pemerintahan daulah Abbasiyah. Ia mendapat mandat melaksanakan tugas sterilisasi bacaan atau qirāat dari dua menteri Ibn Isa dan Ibn Muqlah.[16]

            Upaya penyempurnaan di atas dilakukan untuk menjaga orisinalitas Al-Qur’an baik dari aspek redaksi bacaan yang terdiri dari qirāah sab’ah maupun dari aspek tulisan yang akan mempengaruhi bacaan. Tidak ada yang menentang bahwa redaksi bacaan dengan tujuh versi merupakan tauqīfī, kecuali hanya sedikit yang mengatakan sebaliknya. Versi bacaan yang keluar dan melenceng dari makna dan maksud Al-Qur’an ini yang tidak tauqīfī dan menjadi perhatian kalangan yang menyempurnakan Al-Qur’an.

            Dari aspek rasm atau tulisan Al-Qur’an, Abu Bakar Al-Bāqalānī, sebagaimana dikutip oleh Mannā’ Al-Qaththān, menjelaskan tidak ada ketentuan dan kewajiban dari Allah mengenai tulisan (rasm). Tidak ada teks al-Qur’an, Sunnah, atau pemahaman-pemahaman lain yang memberi batasan jelas masalah tulisan (khuthūth hija’iyah), bahkan Sunnah menunjuk adanya kebolehan menulis dengan model rasm yang mudah (dan memudahkan) dalam membacanya. Karenanya wajar jika ditemukan adanya perbedaan pada tulisan (khutūth) beberapa mushaf. Seperti menulis kata berdasarkan tempat makhraj lafadz, perubahan pada penulisan ك dan ل, membengkokkan alif, atau pun penyempurnaan-penyempurnaan (khutūth) lainnya yang sesuai dengan zaman adalah sah[17]dan tidak dianggap melanggar orisinalitas Al-Qur’an dan tidak merusak sakralitasnya.

Dari berbagai penyempurnaan-penyempurnaan yang dilakukan, mushaf Al-Qur’ankemudian dicetak menggunakan mesin modern pada 1924 M. Pencetakan al-Qur’an ini dilakukan di Mesir. Versi yang tersebar dan sampai pada kita adalah Versi bacaan ‘Ashim. Al-Qur’an dengan bacaan versi ‘Ashim (Kufah, w.158/778) ini kemudian dicetak secara besar-besaran dan dicetak ratusan bahkan jutaan dan disebarkan ke penjuru dunia oleh Kerajaan Arab Saudi pada 1970-an.

Sebenarnya ada enam varian bacaan selain versi bacaan ‘Āshim tadi. Mereka adalah versi bacaan Ibn Amir (Syam, w. 118/736), Ibn Katsīr (Mekah, w. 119/737), Abu ‘Amr (Basrah, w. 153/770), Hamzah (Kufah, w. 156/772), Nâfi’ (Madinah, w.169/785), dan Kisâî (Kufah, 189/804). Mula-mula yang tersebar (di kisaran abad ke-20) hanya tiga varian bacaan, versi Nafi (yang diriwayatkan olehWarsh), versi Abu ‘Amr (yang diriwayatkan oleh Al-Duri), dan ‘Āshim (yang diriwayatkan oleh Hafs). Tetapi kemudian dua yang pertama perlahan-lahan menghilang dari peredaran.[18]

Ketentuan-Ketentuan dalam Kodifikasi Al-Qur’an

Menulis dan mengumpulkan Al-Qur’anatau melakukan kodifikasi terhadap Al-Qur’an barangkali sama dengan ketentuan bagaimana menyajikan tulisan yang berbobot dengan data-data yang valid dan empiris serta referensi yang berkualitas dan universal agar pembaca tidak ragu. Namun wahyu Allah berupa ayat-ayat Al-Qur’an agaknya tidak pantas jika disamakan dengan penulisan-penulisan ilmiah. Karena firman Allah merupakan hal sakral dan absolut, berbeda dengan penulisan ilmiah yang tidak lain merupakan pengembangan dari sebuah teori manusia yang relatif dan bisa jadi subjektif. Ini firman atau kata-kata Tuhan yang apakah pantas disamakan dengan kata-kata ciptaannya, yakni manusia?

Sakralitas dan keabsolutan wahyu Allah berupa ayat-ayat Al-Qur’an mengharuskan adanya syarat dan ketentuan dalam penulisan dan pengumpulannya (kodifikasi). Beberapa syarat dan ketentuan yang bisa diambil dari sejarah kodifikasi Al-Qur’an adalah :

  1. Disampaikan secara universal (mutawatir) dari generasi ke generasi yang mustahil generasi tersebut bersepakat mendustakan Al-Qur’an. Kita lihat syarat ini dari masa Rasulullah SAW yang menyampaikan wahyu Allah pada para sahabat-sahabatnya. Sahabat-sahabat itu kemudian menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an, sebagian menuliskannya atas perintah Rasul atau atas inisiatif sendiri untuk memperkuat hafalannya. Beralih pada masa Abu bakar, untuk menjaga kemutawatiran Al-Qur’an sebab gugurnya para penghafal Al-Qur’an, maka Abu Bakar melakukan ijtihad dengan memerintahkan Zaid bin Tsābit untuk mengumpulkan dan menulis ayat-ayat Al-Qur’an ke dalam satu mushaf atau suhuf (dalam pengertian tidak berceceran lagi). Kemudian pada masa Utsman, lagi-lagi untuk menjaga kemutawatiran sekaligus untuk “menyelamatkan” (atas ilham Allah)Al-Qur’an  dari perselisihan dan perbedaan bacaan yang dikhawatirkan berujung pada fitnah, perubahan, dan penggantian, bahkan cacian dan hinaan. Umat Islam pada masa Nabi, para khalifah bahkan sampai sekarang tidak bersepakat dusta terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang tertuang pada suhuf atau mushaf.
  2. Dihimpun dan ditulis oleh para sahabat yang memiliki kredibilitas dan kapabilitas yang tinggi. Yang paling nampak dari sekian sahabat yang mengumpulkan dan menulis Al-Qur’an adalah Zaid bin Tsābit. Dalam menyebut Zaid, Abu Bakar berkata, “Kamu seorang pemuda yang cerdas (berintelektual), kami tidak meragukanmu. Kamu telah menulis wahyu bagi Rasulullah”[19] Zaid selalu tampil menjadi sosok yang selalu dibutuhkan oleh Rasulullah, Khalifah Abu Bakar, Umar dan Ustman, dalam pengumpulan dan penulisan Al-Qur’an. Ini menunjukkan adanya persyaratan bahwa yang berhak menulis Al-Qur’an adalah yang benar-benar memiliki kredibilitas sebagai muslim yang beriman dan bertakwa, serta memiliki kapabilitas yakni kemampuan profesional sesuai dengan bidangnya. Ini terbukti pada Zaid bin Tsābit, dan sahabat-sahabat yang lain seperti Abdullah bin Zubair, Sa’īd bin al-‘Ash, dan Abdurrahman bin Hārits bin Hisyām dan selain mereka.
  3. Validitas sumber ayat-ayat Al-Qur’an. Validitas artinya data akurat mengenai ayat-ayat Al-Qur’an yang akan dikumpulkan dan ditulis. Kita perhatikan kodifikasi Al-Qur’an pada masa Abu Bakar. Khalifah Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsābit untuk mengumpukan dan menuliskan wahyu Allah ke dalam suhuf agar tidak berceceran. Zaid kemudian bekerjasama dengan Umar atas instruksi Abu Bakar untuk menyeleksi validitas sumber wahyu Allah tersebut dari dengan dua saksi (data atau sumber akurat).Bahkan diceritakan oleh Ibn Abī Dāud, Abu Bakar menginstruksikan kepada Umar dan Zaid, “Duduklah kalian berdua di (depan) pintu Masjid. Siapapun yang membawa ayat-ayat Al-Qur’an dengan dua bukti, maka tulislah!”[20]

Dalam memahami atsar di atas yang mensyaratkan adanya dua bukti sebagai syarat untuk menulis Al-Qur’an, Al-Zarzur dalam memahami dua bukti itu adalah bukti hafalan dan tulisan sahabat atau bukti hafalan sahabat A yang dibuktikan dengan tulisan Sahabat B misalnya. Ini dikuatkan Mannā’ al-Qaththān yang menjelaskan bahwa berdasarkan Atsar tersebut, Zaid bin Tsābit tidak mencukupkan pembuktian hanya pada bukti tertulis saja, tetapi juga bukti dari hafalan-hafalan yang langsung diterima (mendengar) dari Nabi secara langsung selain hafalannya sendiri.

Pernyataannya kemudian, tidakkah dengan syarat dua saksi dalam penulisan Al-Qur’an, sebagaimana pada atsar di atas, kontradiktif dengan syarat mutawatiryang mengharuskan adanya banyak saksi (katakanlah begitu) atau sahabat-sahabat. Seperti kasus Zaid yang menemukan akhir surat al-Taubah ayat 128[21] pada Abu Khuzaimah al-Ansharī, tidak menemukannya pada yang lain. Menanggapi pertanyaan dan kasus ini, Mannā’ al-Qaththān menegaskan bahwa kasus tersebut tidak kontradiktif dengan kemutawatiran Al-Qur’an. Sebab maksud dari atsar di atas adalah Zaid tidak menemukan tulisan akhir surat al-Taubah itu pada sahabat yang lain. Adapun tentang tentang hafalannya, selain yang dihafal Zaid, banyak sahabat juga menghafalkan ayat tersebut dan terbukti sesuai dengan yang ditulis Abu Khuzaimah Al-Anshārī. Jadi tidak kontradiktif.[22]

Semogabermanfaat


[1] Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar Al-Suyūthī, Al-Itqān fi ‘Ulūmil Qurān (Arab Saudi: Al-Amānah, Tt). 378.

[2] Ibid., 377.

[3] ‘Adnān Muhammad Zarzūr, ‘Ulūmu. 85.

[4] Prof. Dr. Daniel Djuned, Antropologi Al-Quran (Jakarta: Erlangga, 2011), 33.

[5] Abd Moqsith Ghazali, Luthfi Assyaukanie & Ulil Abshar Abdallah, Metodologi Studi Al-Quran (Jakarta: PT Gramedia, 2009), 10.

[6] ‘Adnān Muhammad Zarzūr, ‘Ulūmu. 87.

[7] Manna’ Khalil Al-Qaththān, Mabahitsu. 123.

[8] Ibid., 123.

[9] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarahdan Pengantar. 75.

[10]Ibid., 75.

[11] Al-Suyūthī, Al-Itqān. 390.

[12] Ibid., 388.

[13] Al-Qaththān, Mabahitsu. 133.

[14] Abd Moqsith Ghazali dkk, Metodologi, 16.

[15] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarahdan Pengantar. 82.

[16]Abd Moqsith Ghazali dkk, Metodologi, 17-18.

[17]Al-Qaththān, Mabahitsu. 141.

[18] Abd Moqsith Ghazali dkk, Metodologi, 19.

[19] ‘Adnān Muhammad Zarzūr, ‘Ulūmu. 87.

[20] Manna’ Khalil Al-Qaththān, Mabāhitsu. 122. Dan ‘Adnān Muhammad Zarzūr, ‘Ulūmu. 88..

[21]لقد جاءكم رسول من أنفسكم

[22]Al-Qaththān, Mabāhitsu. 122.

1 komentar untuk “KODIFIKASI AL-QUR’AN; MENJAGA ORISINALITAS DAN SAKRALITAS AL-QUR’AN”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *