Oleh; Muhammad Suud, Lc.
Penyuluh Agama Islam Kec. Pademawu Pamekasan
Undang-Undang No. 1/PNPS/Tahun 1965 menyatakan bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja di depan umum menyampaikan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan terhadap penafsiran agama yang menyimpang dari pokok ajaran agama tersebut, atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai tapi tidak sesuai dengan ajaran agama yang berlaku di Indonesia.
Jika ditinjau dari perspektif Maqashid Syari’ah, khususnya sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur dalam karyanya, Maqashid asy-Syari’ah, hukum ini dapat dipandang sebagai upaya negara dalam menjaga stabilitas umat (hifzh nidzham al-ummah), yang menjadi salah satu tujuan universal syari’at Islam.
Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 205, Allah berfirman:
“Apabila ia berpaling (berkuasa), ia berusaha membuat kerusakan di muka bumi, merusak tanaman-tanaman dan ternak. Dan Allah tidak menyukai kerusakan.”
Ayat ini menegaskan bahwa Allah menghendaki kebaikan, baik dalam keyakinan maupun perbuatan, serta dalam kehidupan sosial manusia. Oleh karena itu, setiap tindakan yang menimbulkan kerusakan, termasuk dalam hal agama, perlu dicegah.
UU Penodaan Agama ini dapat dilihat sebagai bagian dari upaya negara dalam melindungi lima tujuan utama syari’ah (maqashid al-khamsah), yaitu:
1. Hifzh al-Din (Menjaga Agama)
Ibnu Asyur menegaskan bahwa menjaga agama berarti melindungi keyakinan dan ibadah umat dari penyimpangan yang dapat merusak akidah.
UU ini relevan karena berfungsi sebagai pelindung dari ajaran atau praktik yang menyimpang dan dapat menyesatkan masyarakat awam.
2. Hifzh al-Nafs (Menjaga Jiwa)
Penodaan agama sering kali menjadi pemicu konflik, bahkan kekerasan. Dalam hal ini, keberadaan hukum menjadi alat pencegahan agar tidak terjadi pertumpahan darah atau kekacauan sosial yang membahayakan jiwa manusia.
3. Hifzh al-‘Aql (Menjaga Akal)
Akal manusia harus dijaga dari informasi yang menyesatkan. Penyimpangan ajaran agama bisa merusak cara berpikir masyarakat, terutama mereka yang belum kokoh dalam ilmu agama.
UU ini memberikan batasan agar akal tidak diseret pada pemahaman yang salah tentang agama.
4. Hifzh al-Mal (Menjaga Harta)
Kerusuhan yang berawal dari penodaan agama bisa mengakibatkan perusakan rumah, tempat ibadah, dan harta benda. Maka dari itu, pencegahan lewat jalur hukum juga secara tidak langsung menjaga harta dari kerusakan atau perampasan.
Lebih dari itu, UU ini juga memiliki fungsi preventif dan edukatif. Keberadaannya mencegah lahirnya penafsiran liar yang bisa memicu kekacauan. Dalam perspektif Maqashid Syari’ah, hukum tidak hanya harus ada, tapi juga harus berdaya guna (nufudz al-syari’ah). Artinya, hukum perlu berdampak nyata dalam menciptakan ketertiban dan menjaga kemaslahatan umat.
Penutup
Dengan demikian, UU No. 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Penodaan Agama sejatinya merupakan bentuk ikhtiar negara dalam menjaga kelangsungan kehidupan beragama yang damai dan harmonis. Ditinjau dari maqashid syari’ah, hukum ini bukanlah pembatas kebebasan beragama, melainkan pagar yang melindungi umat dari penyimpangan dan perpecahan. Sebab, dalam syari’ah, menjaga agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan adalah fondasi dari kemaslahatan umat seluruhnya.