
Oleh: Mohammad Suud, Lc
PAIH Pademawu
Kurban dalam bahasa fiqh dikenal dengan Udlhiyyah. Dalam kitab Fathul Qarib dijelaskan bahwa Udlhiyyah adalah nama untuk binatang ternak yang disembelih pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Dalil disayari’atkannya kurban dalam Al-Qur’an adalah firman Allah,
فصل لربك وانحر
“Maka dirikanlah Shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah” (QS. Al-Kautsar:2)
Sedangkan mengenai hukum berkurban, para ulama terbagi dalam dua pendapat. Dalam kitabnya “al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu”, Syaikh Wahbah Zuhaili membagi pendapat ulama tentang hukum berkurban menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang berpendapat bahwa hukum berkurban itu wajib. Kelompok ini diwakili oleh Mazhab Hanafiyah. Meskipun –sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid-nya, Abu Yusuf dan Muhammad Hasan al-Syaibani, murid Abu Hanifah menyelisihi pendapat gurunya dengan berpendapat bahwa hukum berkurban tidaklah wajib. Kelompok kedua adalah mereka yang berpendapat bahwa hukum berkurban sunnah muakkad. Pendapat ini dikeluarkan oleh jumhur ulama (Syafiiyah, Malikiyah, dan Hanbaliyah).
Status hukum berkurban dalam pandangan ulama berada antara wajib dan sunnah muakkad. Status hukum inilah yang menjadi alasan mengapa umat Islam sangat dianjurkan sekali melakukannya. Bahkan dalam sebuah fatwa yang dikeluakan oleh Al-Azhar, merespon permintaan fatwa dari salah seorang yang bertanya, “lebih utama mana berkurban atau bershadaqah?” Al-Azhar menjawab, “berkurban lebih utama dari bersedekah dengan alasan karena status hukum kurban antara wajib atau sunnah muakkad dan termasuk salah satu bentuk syi’ar Islam yang tidak bisa diganti dengan sedekah. Seandainya menggantikannya dengan bershadaqah kambing dalam kondisi hidup atau uang seharga kambing tersebut di hari raya Idul Adha, tetap tidak bisa mencukupi keutamaan kurban, karena berkurban merupakan syi’ar yang berhubungan dengan “mengalirkan darah”. Perintah syari’at ketika dihubungkan dengan bentuk ritual yang ditentukan secara khusus tidak bisa digantikan oleh ritual lainnya, seperti halnya shalat dan puasa.”
Selain alasan di atas, kurban termasuk ibadah yang waktunya terbatas (mudhayyaq), yaitu terbatas hanya pada 10 Dzulhijah dan hari-hari Tasyriq, sedangkan shadaqah bisa kapan saja (muwassa’). Umumnya yang terbatas waktunya diprioritaskan dari tidak terbatas. Kurban merupakan ibadah khusus yang diperintahkan di waktu khusus, sedangkan shadaqah termasuk ibadah umum yang tidak terikat waktunya. Apabila sebuah ibadah ditentukan di waktu tertentu, maka ibadah tersebut paling utama dilaksanakan pada waktunya.
Meninggalkan ibadah kurban di hari raya Idul Adha, dengan lebih memilih bersedekah, akan menghilangkan kesempatan untuk mendapatkan pahala berkurban, dan hanya mendapatkan pahala bersedekah yang sejatinya bisa dilakukan kapan saja. Sementara dengan berkurban bisa memperoleh dua pahala sekaligus, yaitu pahala berkurban dan pahala bersedekah.
Tentunya tulisan ini, tidak sedang dalam membenturkan antara keutamaan bersedekah dengan berkurban, karena bagaimanapun dua ibadah tersebut merupakan ibadah yang sama-sama utama. Tetapi lebih pada memotivasi setiap diri untuk berkurban sejauh kemampuan. Minimal, memiliki keinginan melaksanakannya saat mereka dikaruniai kelebihan rezeki. Degan berkurban, banyak hikmah yang akan diperoleh. Selain sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang diberikan, juga untuk mensucikan harta serta menjadi sarana berbagi kepada kerabatan, tetangga, kawan dekat dan fakir miskin.